This post is also available in: English
Pak Maxi Lahading adalah sosok yang menginspirasi. Kali pertama saya mendengarnya berbicara tentang manfaat dari Kawasan Konservasi Perairan (KKP) berbasis masyarakat di Bahoi, saya pun langsung menyimak. Pada sebuah pertemuan di Desa Bahoi di Sulawesi Utara tersebut. dirinya menyampaikan betapa bangganya terhadap capaian desanya, namun masih banyak yang harus dilakukan. Beliau ingin menyatukan warga desa agar menjadi contoh bagi yang lain, sebuah desa yang seluruh anggota warganya terlibat dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam. Ini adalah visi besarnya, dan Pak Maxi bertekad untuk mewujudkannya.
Pertemuan tersebut ialah tahap awal dari sebuah proyek internasional baru yang bertujuan untuk melestarikan ekosistem penting padang lamun di lima negara – Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Timor-Leste. Blue Ventures bangga menjadi bagian dari proyek ini dengan mendukung mitra seperti Rumah YAPEKA di Indonesia dan Save Andaman Network (SAN) di Thailand. Dukungan ini berupa insentif dan pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan kawasan perairan dan kegiatan konservasi melalui model usaha ekowisata berbasis masyarakat.
Ekosistem lamun adalah ekosistem pesisir penting yang menopang kehidupan sekitar tiga miliar penduduk di dunia. Ekosistem ini merupakan sumber pangan dan pendapatan, serta sebagai pelindung alami dari cuaca ekstrem. Padang lamun juga menjadi titik rawan keanekaragaman hayati, rumah bagi beragam anakan ikan, dan sumber makanan bagi beberapa penghuni laut lainnya, seperti penyu dan dugong.
Walaupun sebarannya hanya 0.2 persen dari perairan di bumi, padang lamun berkontribusi sekitar 10% dari karbon biru bersama dengan hutan bakau dan rawa asin.
Sayangnya, kesehatan ekosistem lamun terancam oleh penangkapan ikan berlebih, pembangunan kawasan pesisir, dan perubahan iklim. Perlindungan terhadap lamun semakin menjadi prioritas mengingat pentingnya ekosistem tersebut sebagai ‘senjata rahasia melawan pemanasan global’. Lamun mampu menyerap karbon dua kali lebih besar dibandingkan vegetasi berbagai jenis hutan di daratan. Walaupun sebarannya hanya 0.2 persen dari perairan di bumi, padang lamun berkontribusi sekitar 10% dari karbon biru bersama dengan hutan bakau dan rawa asin.
Di Indonesia, padang lamun yang sehat adalah sumber daya yang berharga. Vegetasi ini tidak saja bermanfaat bagi biota di sekelilingnya dan kesehatan bumi, juga bagi masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut untuk ketahanan pangan, obat-obatan tradisional (Pak Maxi mengatakan bahwa teh yang mereka buat secara tradisional berasal dari akar lamun yang juga bermanfaat untuk mengendalikan kadar gula darah dan telah diujicobakan pada tikus!), serta sumber pendapatan. Proyek yang kami kerjakan bersama YAPEKA dan SAN ini bertujuan untuk mengembangkan upaya konservasi lamun menggunakan pendekatan partisipatif. Saya pun melihat kepemimpinan lokal di Bahoi semakin kuat untuk mewujudkan upaya ini.
Pertemuan desa tersebut berjalan dengan baik, tapi saya terpikat oleh Pak Maxi yang diperkenalkan sebagai “si monster”. Di sore hari, saya ditemani Ami, Efra, dan Risa dari YAPEKA mengunjungi rumah Pak Maxi untuk mengetahui lebih jauh kisahnya. Ketika malam tiba dan hujan mulai turun, kami pun mulai menyimak Pak Maxi menuturkan kisahnya. Jawaban Beliau panjang dan menarik, sering kali diselingi dengan canda dan tawa. Ami, Efra, dan Risa juga sangat membantu untuk melengkapi arti kata yang sulit untuk diterjemahkan.
Siapa pun yang mencintai alam, maka alam akan membalas cintanya”
Seluruh cerita Pak Maxi melekat pada laut, pentingnya melindungi laut serta tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang dibentuk warga pada awal tahun 2000-an. Ia memutar waktu kembali melalui hasil yang ia lihat setiap harinya dari jerih payah yang mereka sudah lakukan. Saat ini, ia tidak lagi harus melaut jauh untuk menangkap ikan dan mulai melihat ikan yang berukuran besar serta lebih beragam, walaupun tidak sebesar ikan pelagis yang ia ingat semasa muda dulu.
Ami perlahan mendekat dan berbisik kepada saya, “sebenarnya ia adalah kepala peneliti di desa ini, tidak ada hal yang ia tidak amati.”
Lepas dari hamparan terumbu karang, tak jauh dari rumahnya, warga telah memperluas kawasan perlindungannya hingga ke area hutan bakau dan padang lamun. Namun Pak Maxi berniat untuk menjangkau lebih dari itu. Ia menekankan lambatnya pertumbuhan pohon bakau dan ingin menghentikan tingkat kerusakannya, karena penanaman kembali membutuhkan waktu yang sangat lama. Ami perlahan mendekat dan berbisik kepada saya, “sebenarnya ia adalah kepala peneliti di desa ini, tidak ada hal yang ia tidak amati.”
Seperti kebanyakan KKP, lambat laun umumnya kawasan tersebut memiliki tantangan dalam penegakan hukum. Inilah dimana Pak Maxi mendapatkan perdikat sebagai “si monster” dan dikenal di masyarakat desa serta rekan-rekan kami dari YAPEKA. Beliau bahkan memiliki spanduk besar yang terpampang di rumahnya, jelas sekali ia sangat menyukai ketenaran barunya ini! Ketika saya bertanya asal mula ia mendapat julukan tersebut, Pak Maxi tersenyum menyeringai. Ia lalu menceritakan kisah di masa muda ketika teman-temannya menjulukinya Julius Caesar, merujuk pada sebuah film Bollywood yang saya kurang ikuti, hingga pada tahun 2016 dimana ia akhirnya dikenal sebagai “si monster”.
Di dalam kawasan zona inti, sejumlah nelayan tengah menangkap ikan menggunakan kompresor. Penggunaan alat bantu penangkapan ikan ini merusak lingkungan juga kesehatan penggunanya. Pak Maxi melihat perilaku merusak ini dari rumahnya dan geram dengan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku tersebut. Ia mengambil tindakan sendiri dengan pergi ke zona inti lalu menabrak perahu pelaku hingga pecah. Para pelaku tersebut kemudian digiring ke pihak berwenang setempat untuk dihukum sesuai dengan peraturan yang telah disepakati warga. Tindakan Pak Maxi ini sangat berisiko karena ia pun dapat dikenakan hukuman juga. Namun, dengan dukugan warga dan hasrat yang kuat untuk melindungi alam, ia merasa terdorong untuk bertindak. Cerita dari tindakannya tersebut menyebar dengan cepat, dan lahirlah julukan si monster.
Itulah alasan mengapa saya tidak takut, karena saya berjuang demi warga dan saya mendapat dukungan dari warga desa. Oleh karena itu, saya tidak keberatan dijuluki ‘si monster’: Saya mewakili warga desa. Saya siap mempertaruhkan nyawa karena warga kami tidak bisa hidup bila KKP yang sudah dibentuk ini, gagal dikelola.”
Kembali Ami menoleh kepada saya sembari menekankan, “Ia mengambil risiko besar. Perahu itu merupakan sumber penghidupan para pelaku, dan ia berkata bahwa ia siap mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi KKP. Hal ini yang terkadang membuat saya khawatir terhadap Pak Maxi. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi?”
Perbincangan kami berlanjut dengan cepat, dari kisah luar biasa tentang badai hebat dan penyelamatan di laut, pembelajaran dari warga desa lain dan keinginan untuk berbagi, hingga tentang puteranya dan para generasi muda warga desanya yang mulai mengambil peran. Akhirnya saya bertanya apakah hal yang ia ingin sampaikan kepada warga desa lain yang sedang mengawali langkah ini. Pak Maxi menuturkan bahwa waktu adalah segalanya, karena perjuangannya untuk mendapatkan dukungan warga desanya membutuhkan waktu hingga tiga tahun. Ia bahkan harus mengetuk dari pintu ke pintu untuk mendapatkan kesepakatan bersama dan keterlibatan warganya.
Mereka sadar tentang apa yang harus dilakukan, tapi membutuhkan waktu yang lama untuk akhirnya mau bertindak. Seluruh proses pembentukannya berawal dari warga – perencanaan, kesepakatan, peraturan, penentuan batas, semuanya didiskusikan dan direncanakan bersama. Lantaran ini KKP tersebut dapat bertahan. Karena itu pula saya berani untuk bertindak demi melindunginya.”
Keesokan paginya saya kembali untuk melihat si monster di habitat alaminya – di laut. Sayangnya, cuaca belum berpihak pada saya, dan hujan deras mengguyur seharian. Seketika itu, sekelompok warga mulai berdatangan ke rumah Pak Maxi. Dengan sajian kopi dan kue, perbincangan pun mengalir dengan penuh tawa. Walaupun semuanya hanya melintas di kepala saya, tapi suasananya terasa santai dan hangat.
Setelah seharian di rumah Pak Maxi sambi menikmati kopi dan bersenda gurau dengan teman dan keluarganya, sulit bagi saya untuk membayangkan Pak Maxi sebagai seorang monster. Namun, ia telah memilih untuk menjadi peran tersebut dan dengan bangga ia jalani. Sebuah peran yang mengharuskannya untuk mempertaruhkan hidupnya demi warga dan masa depan laut yang menopang kehidupan mereka.
Terima kasih kepada United Nations Environment Programme yang diwakilkan oleh Secretariat of the Convention on Migratory Species (UNEP/CMS Secretariat) atas dukungannya pada proyek ekosistem lamun internasional di Kawasan Segitiga Karang.
Proyek ini adalah bagian dari International Climate Initiative (IKI). The Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU) mendukung inisiatif ini berdasarkan keputusan German Bundestag.